Selasa, 05 Agustus 2008

Inspirasi indonesia tentang Pendidikan

Memetakan wajah dunia pendidikan Indonesia adalah seperti memandang karut-marut negeri ini. Lebih mudah mengidentifikasi borok-borok pendidikan dibandingkan melihat inspirasi yang ada di dunia pendidikan, yang memberikan optimisme untuk kehidupan masa depan anak-anak Indonesia.
Sebut saja, dunia akademik sekolah-sekolah kita jauh dari prestasi para siswanya. Walaupun ada prestasi siswa Indonesia yang menjadi juara dalam Olimpiade ilmu pengetahuan dunia, prestasi tersebut bukan produk dari pendidikan di sekolah.


Dalam hal prestasi, sebagian besar siswa sekolah justru sibuk dijejali dengan solusi-solusi instan bimbingan belajar atau perpanjangan jam belajar sejak pagi hingga sore hari karena pendidikan yang normal dianggap tak memadai.
Dalam dunia pendidikan kita, sudah jamak kita temui lulusan SMA yang tidak memiliki kompetensi dan ketrampilan vokasional untuk hidup. Sebab, sistem pendidikan memang disiapkan hanya sebagai jenjang untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Tak sanggup kuliah, tak mampu berkarya, anak-anak lulusan SMP dan SMA kemudian melakukan migrasi ke kota untuk menjadi buruh-buruh pabrik yang rentan terhadap eksploitasi karena rendahnya daya tawar ketrampilan yang dimilikinya.

Belum lagi isu akhlak, moralitas, dan karakter yang menyertai proses dan hasil pendidikan. Kecurangan ujian, tradisi mencontek, pornografi remaja, narkoba, hingga tawuran terus menjadi masalah-masalah siswa di sekolah. Bahkan, tawuran tak lagi menjadi monopoli anak SMP-SMA. Mahasiswa yang dianggap sebagai kelompok elit masyarakat berbasis intelektual pun sibuk melakukan tawuran dan anarkisme di mana-mana.

Secara struktural, kebijakan pendidikan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang menggembirakan. Orientasi pendidikan yang tak jelas, birokrasi pendidikan yang sibuk dengan politik-organisasi, komitmen dan pengelolaan dana yang kacau. Yang terakhir, perlakuan pendidikan sebagai institusi bisnis yang membuat dunia pendidikan semakin jauh dari harapan masyarakat umum. Pendidikan yang baik semakin mahal dan tak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat.

Ujung-ujungnya, semua kesemrawutan dalam pendidikan itu ditanggung oleh masyarakat.

Lalu, apa harapan kita sebagai anggota masyarakat? Akankah kita menjadi katak yang direbus pelan-pelan hingga kemudian ketika air mendidih menjadi tak sanggup melompat lagi dan mati?

Berkeluh-kesah boleh-boleh saja. Tapi berkeluh-kesah tak banyak berguna kecuali membuang sampah emosi kita ke alam semesta. Sambil mendorong terus perubahan dan pembaruan pendidikan, kita memerlukan inisiatif dan tindakan-tindakan yang dapat menjadi inspirasi dan alternatif buat masyarakat.


Membangun Model Alternatif

Artikel ini membahas mengenai homeschooling sebagai salah satu inisiatif dan model pendidikan alternatif bagi masyarakat. Sebagai sebuah gerakan, homeschooling menemukan signifikansinya dalam konteks inisiatif kultural yang dilakukan masyarakat sebagai respon terhadap model pendidikan yang tak memenuhi harapan.

Dalam konteks gerakan masyarakat sipil (civil society), homeschooling merupakan wujud keterlibatan/inisiatif masyarakat untuk mempengaruhi keadaan sosio politik dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Proposal utama dari homeschooling adalah memberikan alternatif bagi masyarakat sehingga masyarakat memiliki berbagai alternatif yang dapat dipilihnya.

Dalam ekspresi yang lebih positif, homeschooling dapat menggerakkan keluarga untuk terlibat aktif dalam pendidikan, menggantikan kepasrahan pada sistem sekolah. Partisipasi keluarga dengan seluruh kecintaan dan kepentingan masa depan anak-anak dapat menjadi sumber yang kuat untuk menjadi penggerak perubahan wajah dunia pendidikan di Indonesia.


Model Pendidikan Berbasis Keluarga

Homeschooling bukanlah sekedar mengungkung anak di rumah, mengundang guru privat yang mahal, dan model belajar artis yang malas pergi ke sekolah. Sebagai sebuah gagasan dan praktek, homeschooling jauh lebih substantif dibandingkan persepsi yang berkembang di masyarakat itu.

Homeschooling adalah gerakan “back to basic”, memasuki kembali esensi-esensi pembelajaran yang tak dipasung oleh tempat belajar, jam belajar, keharusan-keharusan administratif dan ritual-ritual (baju seragam, uang gedung, buku baru, ijazah, wisuda, dll) yang semakin menggantikan esensi proses belajar. Dengan motto “belajar di mana saja, kapan saja, bersama siapa saja”, homeschooling memberikan kesempatan proses belajar yang kontekstual dan penggunaan kehidupan keseharian sebagai sumber belajar.

Sementara model sekolah bersifat massal dan mengejar standar-standar eksternal seperti pabrik, homeschooling memberikan peluang untuk melakukan kustomisasi pendidikan; mulai aspek penentuan tujuan, pemilihan materi ajar, dan metode-metode yang digunakan dalam proses belajar. Homeschooling memberikan kesempatan kepada orangtua untuk menghargai keragaman jenis kecerdasan anak (multiple intelligences) yang tak mungkin dikembangkan dalam sistem pendidikan massal.

Homeschooling bukanlah mengubah orangtua menjadi guru untuk proses belajar anak-anak karena kemampuan orangtua pasti terbatas. Peran utama orangtua dalam homeschooling adalah menjadi mentor dan fasilitator. Proses utama dalam pembelajaran homeschooling adalah menumbuhkan dan menggerakkan spirit belajar anak-anak sehingga anak-anak dapat menjadi pembelajar mandiri. Berbeda dengan model sekolah, homeschooling justru semakin mudah dilaksanakan pada saat anak semakin besar karena semakin anak menjadi besar, anak semakin mandiri.

Karena homeschooling dibangun dengan keluarga sebagai entitas penggerak kegiatan belajar, homeschooling meniscayakan keragaman dan sistem terdistribusi. Tak ada pusat dan model standar homeschooling karena setiap keluarga bebas merancang model pendidikan sesuai tujuan-tujuan pendidikan keluarga yang khas. Yang ada adalah entitas-entitas otonom, yang saling berinteraksi dalam proses penyelenggaraan pendidikan.


Gerakan Homeschooling di Dunia

Homeschooling bukanlah sebuah ide asing di Indonesia dan dunia. Homeschooling adalah model awal pendidikan, sebelum pendidikan distrukturkan dan dilembagakan dalam institusi-institusi sekolah sebagaimana yang berkembang dalam beberapa abad terakhir ini.

Dalam khazanah Indonesia, ide-ide homeschooling dapat kita lihat akarnya dari proses belajar otodidak, magang bisnis di kalangan pengusaha China, belajar dari orangtua dan kolega di kalangan pesantren. Tokoh-tokoh semisal KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka adalah contoh diantara anggota masyarakat yang pernah menjalani pendidikan dengan model otodidak atau homeschooling.

Saat ini, di Indonesia ada sekitar 1400 orang yang melakukan homeschooling. Walaupun jumlah siswa homeschooling masih relatif kecil dibandingkan total seluruh siswa sekolah, siswa homeschooling terus bertambah dan tumbuh. Di Amerika Serikat saja, saat ini ada sekitar 3 juta siswa homeschooling dengan laju pertumbuhan 15% per tahun. Di Kanada, pada periode 2000-2001 ada sekitar 95.000 siswa homeschooling, di New Zealand sekitar 7000 (1996), Australia 55.000, dan masih banyak lagi kegiatan homeschooling yang tak terdata secara resmi di berbagai belahan dunia.

Di Amerika Serikat, walaupun homeschooling banyak diawali oleh kalangan agama yang merasa terancam nilai-nilai tradisionalnya (1970-an), praktisi homeschooling semakin beragam. Pertumbuhan homeschooling yang didasarkan pada alasan akademis semakin meningkat karena, berdasarkan riset, anak-anak homeschooling tidak kalah berprestasi dibandingkan anak-anak sekolah. Kekhawatiran mengenai isu sosialisasi dan eksklusivitas pun semakin tereduksi oleh fakta bahwa anak-anak homeschooling dapat berintegrasi secara sosial di masyarakat.

It works! Homeschooling dapat dipraktekkan, itulah kunci perkembangan homeschooling yang terus tumbuh di masyarakat. Homeschooling dapat diselenggarakan oleh keluarga dengan latar belakang rata-rata; baik dari segi ekonomi maupun latar belakang pendidikan. Yang dibutuhkan adalah komitmen keluarga (orangtua dan anak) serta kesediaan orangtua untuk terus belajar dan bekerja keras mengembangkan kreativitas untuk meningkatkan proses pembelajaran anak-anaknya.


Peluang & Tantangan Bersama

Sebagai sebuah model pendidikan alternatif di masyarakat, homeschooling memberikan peluang untuk berkontribusi pada perbaikan wajah pendidikan di Indonesia. Tentu saja harapan itu membutuhkan kerja keras agar gagasan-gagasan di homeschooling dapat dicerna masyarakat dengan baik.

Dengan gagasan menjadikan keluarga sebagai sentral perubahan pendidikan, gagasan homeschooling layak untuk didorong karena memberikan kesempatan pada setiap keluarga untuk menentukan apa yang terbaik buat dirinya. Homeschooling merupakan salah satu wujud demokratisasi pendidikan. Spirit otonom ini dapat menjadi energi yang kuat untuk memelihara kelangsungan gerakan ini.

Untuk dapat berkembang baik, homeschooling perlu menghadapi tantangan-tantangan yang ada di hadapannya, antara lain:


a. Dukungan legalitas

Secara prinsip, eksistensi homeschooling dijamin melalui UU Sisdiknas no 20/2003 pasal 27 yang mengatur pengakuan pendidikan jalur informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan. Negara juga menjamin praktisi pendidikan informal untuk mengikuti Pendidikan Kesetaraan jika praktisi homeschooling menginginkan kesetaraan dengan pendidikan formal (sekolah).

Tantangan legalitas homeschooling adalah mengembangkan aturan-aturan teknis yang lebih pasti dan tetap sederhana. Kesederhanaan menjadi kata kunci penyusunan aturan teknis yang mencerminkan keberpihakan negara untuk memfasilitasi inisiatif yang tumbuh di masyarakat.


b. Pembangunan infrastruktur kelembagaan

Untuk mendukung perkembangan homeschooling, diperlukan inisiatif-inisiatif untuk merekatkan kegiatan-kegiatan pembelajaran di setiap keluarga. Pembentukan komunitas belajar, interaksi antar-keluarga dan antar-komunitas diperlukan untuk menciptakan proses sinergi sekaligus pencarian model-model “best practises” yang beragam dalam penyelenggaraan homeschooling. Jaringan pembelajar (learners network) menjadi salah satu pelumas dan penggerak proses belajar dalam homeschooling.

Di masa depan, sarana fisik yang dibutuhkan dalam pengembangan homeschooling adalah pembentukan pusat belajar (learning center), perpustakaan, laboratorium, dan bengkel belajar. Lembaga-lembaga ini tidak menempel di sekolah, tetapi menjadi institusi mandiri yang dapat dimanfaatkan oleh siswa homeschooling atau siapapun yang membutuhkannya.


c. Kerangka kultural

Karena kekuatan dari homeschooling terletak pada keluarga, kunci keberhasilan homeschooling terletak pada penumbuhan kultur keluarga yang sehat. Kesehatan kultur keluarga bukan hanya terletak pada komitmennya untuk mendukung anak secara akademis-intelektual, tetapi juga komitmen untuk mengembangkan nilai-nilai moral tertinggi dan penghargaan terhadap keragaman (pendidikan multikultural) agar anak-anak dapat menjadi bagian integral yang dapat menyatu sekaligus menjadi agen perubahan untuk perbaikan masyarakat.


d. Pengembangan komunitas

Untuk mengembangkan aspek sosial dari proses pembelajaran, tantangan homeschooling adalah mengembangkan model belajar komunitas yang memungkinkan pengembangan aspek-aspek sosial dari anak homeschooling. Berbeda dengan model sekolah yang bersifat rigid dan terstruktur ketat, komunitas bersifat longgar dan cair yang berfungsi untuk mengintegrasikan proses-proses belajar individual yang diselenggarakan di rumah menjadi sebuah kerangka pandang holistik pada anak.

Demikian paparan sekilas mengenai homeschooling sebagai salah satu model alternative pendidikan. Mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menjadi pengantar diskusi/sharing kita mengenai pendidikan di Indonesia.



0 komentar:

Kata Mutiara

http://tanpatinta.blogspot.com/ Kata Bijak hari Ini: Selanjutnya

Panduan Jiwa

Coretan


Free chat widget @ ShoutMix