Kamis, 07 Agustus 2008

Tentang Nama


Raja Ptolemeus II yang memerintah Mesir dari masa 285 sampai 246 sebelum Masehi (SM) memiliki nama asli “Philadephus”, yang berarti “penyayang saudara”. Namun semasa hidupnya ia telah membunuh dua saudara laki-lakinya

Penerusnya, ternyata tidak lebih baik.
Raja Ptolemeus IV, yang memerintah Mesir dari masa 221 hingga 203 MM, memiliki nama asli “Philopator”, yang mempunyai arti “penyayang ayah”. Namun dalam masa hidupnya, Raja Ptolemeus IV tersebut telah membunuh ayahnya. Mungkin benar juga kata pepatah, apalah arti sebuah nama.
Bagaimana dengan anda? Sudah sesuaikah nama anda dengan tingkah laku anda?

» Lanjut

Inspirasi Orang Cacat


Beberapa tahun yang lalu, diadakan sebuah olimpiade khusus untuk orang-orang cacat di Seattle, Amerika Serikat. Saat itu diadakan pertandingan lari jarak pendek 100 meter. Sembilan pelari telah bersiap-siap ditempat start masing-masing.

Ketika pistol tanda pertandingan dinyalakan, mereka semua berlari sekuat tenaga meski tidak tepat berada di garis lintasannya masing-masing, namun semua berlari dengan wajah gembira menuju garis finish dan berusaha untuk memenangkan pertandingan. Kecuali seorang pelari. Seorang anak laki-laki yang tersandung dan jatuh berguling beberapa kali. Dan ia lalu menangis.
Delapan orang pelari yang lain mendengar tangisan anak itu, lalu mereka memperlambat lari merka dan menoleh kebelakang. Mereka semua berbalik dan malah berlarian menuju anak lelaki yang terjatuh ditanah itu. Semuanya, tanpa terkecuali.
Seorang gadis yang menyandang cacat keterbelakangan mental menunduk, memberikan sebuah ciuman kepadanya dan berkata, “Semoga ini membuatmu merasa lebih baik.” Kemudian kesembilan pelari itu bergandenga tangan, berjalan bersama menyelesaikan pertandingan menuju garis finish.
Seluruh penonton yang ada di stadion berdiri, memberikan salut selama beberapa lama. Mereka yang berada disana saat itu masih saja tak bosan-bosannya memberikan salut tepuk tangan atas kejadian itu.
Tahukah anda mengapa? Karena didalam diri kita masing-masing tahu, bahwa didalam hidup ini tak ada yang lebih berharga daripada kemenangan bagi kita semua, untuk kita bersama. Terkadang kita mesti mengalah untuk kepentingan yang lebih besar, demi kita semua.


» Lanjut

Inspirasi Tentang Menara Pisa


Menara Pisa, salah satu obyek wisata paling terkenal di Italia, bahkan didunia, ternyata menjadi miring karena salah bikin. Dan lebih dari itu, ternyata menara ini di bikin dalam waktu lebih dari seabad.

Manar itu dibangun lebih dari tiga tahap. Tahap pertama dimulai dari tahun 1178, yang berlangsung hingga tingkat tiga. Pekerjaan dihentikan karena pada tahun kelima, menara sudah mulai miring keselatan. Pekerjaan pembangunan dihentikan hingga kira-kira 100 tahun, sebelum pada tahun 1272, tinggi menara ditambah 4 tingkat kearah berlawanan, agar menara dapat berdiri tegak.
Karena tanah disekitar menara tidak stabil, maka pembangunan dihentikan, hingga ahirnya dilanjutkan kembali pada tahun 1360, atau 80 tahun kemudian. Pada pembangunan terakhir ini pula ditempatkan ruang lonceng pada puncak menara, dan menara Pisa mendapatkan bentuknya seperti sekarang ini yang kita kenal.
Mungkinkah Menara Pisa ditegakkan? Mungkin saja. Namun berdasarkan pengamatan para ilmuwan, sekalipun Menara Pisa ditegakkan, bagian-bagian dalam Menara akan tetap melengkung akibat dari terlalu banyak koreksi yang dilakukan sejak pembangunannya 800 tahun lebih yang lampau.

» Lanjut

Manusia Mulai Mengeja


Pada tahun 1697, seorang Perancis bernama Charles Perrault menyalin kisah Cinderella kedalam bahasanya sendiri, Perancis. Dalam kisah Cenderella sebelumnya, sepatu Cinderella terbuat dari bulu tupai berwarna putih dan abu-abu. Bahasa Perancis untuk kata bulu adalah “Vair”. Ternyata Charles salah menyalin, bahwa sepatu Cinderella terbuat dari “Verre”, yang bunyinya sama dengan “Vair”, namun berbeda artinya, yaitu kaca.

Sejak itulah anak-anak sedunia membayangkan ada sebuah sepatu kaca yang berkilauan yang tertinggal diatas tangga istana, dan mereka terheran-heran mengapa mereka tidak pernah melihat sepatu seperti itu didalam kenyataannya.
Bila anda mengira bahwa mengeja suatu kata dengan benar adalah sesuatu yang tidak penting, maka anda perlu merenungkan kisah Cinderella ini. Oleh karena kesalahan kecil seorang pengeja, Cinderella akhirnya memakai sepatu yang salah untuk selamanya.


» Lanjut

Harapan


Dahulu kala, ada seorang pengusaha yang sangat terkenal di kota ini. Ketika sang suami jatuh sakit, satu-persatu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga mereka harus berpindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana.

Sang suamipun telah tiada. Beberapa tahun kemudian, rumah makan itupun harus berganti rupa menjadi sebuah warung makan kecil disebelah pasar. Setelah lama tak terdengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenal masa lalunya yang berkelimpahan. Namun ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat melayani para pembeli.
Wahai ibu, bagaimana engkau sedemikian kuat? “Harapan, nak. Jangan pernah kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu tak akan sempat memetiknya buahnya yang ranum setelah bertahun-tahun kemudian.”
“Nak, sekali engkau kehilangan harapan, kau akan kehilangan seluruh kekuatanmu menghadapi dunia.”

» Lanjut

Selasa, 05 Agustus 2008

Inspirasi indonesia tentang Pendidikan


Memetakan wajah dunia pendidikan Indonesia adalah seperti memandang karut-marut negeri ini. Lebih mudah mengidentifikasi borok-borok pendidikan dibandingkan melihat inspirasi yang ada di dunia pendidikan, yang memberikan optimisme untuk kehidupan masa depan anak-anak Indonesia.
Sebut saja, dunia akademik sekolah-sekolah kita jauh dari prestasi para siswanya. Walaupun ada prestasi siswa Indonesia yang menjadi juara dalam Olimpiade ilmu pengetahuan dunia, prestasi tersebut bukan produk dari pendidikan di sekolah.


Dalam hal prestasi, sebagian besar siswa sekolah justru sibuk dijejali dengan solusi-solusi instan bimbingan belajar atau perpanjangan jam belajar sejak pagi hingga sore hari karena pendidikan yang normal dianggap tak memadai.
Dalam dunia pendidikan kita, sudah jamak kita temui lulusan SMA yang tidak memiliki kompetensi dan ketrampilan vokasional untuk hidup. Sebab, sistem pendidikan memang disiapkan hanya sebagai jenjang untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Tak sanggup kuliah, tak mampu berkarya, anak-anak lulusan SMP dan SMA kemudian melakukan migrasi ke kota untuk menjadi buruh-buruh pabrik yang rentan terhadap eksploitasi karena rendahnya daya tawar ketrampilan yang dimilikinya.

Belum lagi isu akhlak, moralitas, dan karakter yang menyertai proses dan hasil pendidikan. Kecurangan ujian, tradisi mencontek, pornografi remaja, narkoba, hingga tawuran terus menjadi masalah-masalah siswa di sekolah. Bahkan, tawuran tak lagi menjadi monopoli anak SMP-SMA. Mahasiswa yang dianggap sebagai kelompok elit masyarakat berbasis intelektual pun sibuk melakukan tawuran dan anarkisme di mana-mana.

Secara struktural, kebijakan pendidikan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang menggembirakan. Orientasi pendidikan yang tak jelas, birokrasi pendidikan yang sibuk dengan politik-organisasi, komitmen dan pengelolaan dana yang kacau. Yang terakhir, perlakuan pendidikan sebagai institusi bisnis yang membuat dunia pendidikan semakin jauh dari harapan masyarakat umum. Pendidikan yang baik semakin mahal dan tak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat.

Ujung-ujungnya, semua kesemrawutan dalam pendidikan itu ditanggung oleh masyarakat.

Lalu, apa harapan kita sebagai anggota masyarakat? Akankah kita menjadi katak yang direbus pelan-pelan hingga kemudian ketika air mendidih menjadi tak sanggup melompat lagi dan mati?

Berkeluh-kesah boleh-boleh saja. Tapi berkeluh-kesah tak banyak berguna kecuali membuang sampah emosi kita ke alam semesta. Sambil mendorong terus perubahan dan pembaruan pendidikan, kita memerlukan inisiatif dan tindakan-tindakan yang dapat menjadi inspirasi dan alternatif buat masyarakat.


Membangun Model Alternatif

Artikel ini membahas mengenai homeschooling sebagai salah satu inisiatif dan model pendidikan alternatif bagi masyarakat. Sebagai sebuah gerakan, homeschooling menemukan signifikansinya dalam konteks inisiatif kultural yang dilakukan masyarakat sebagai respon terhadap model pendidikan yang tak memenuhi harapan.

Dalam konteks gerakan masyarakat sipil (civil society), homeschooling merupakan wujud keterlibatan/inisiatif masyarakat untuk mempengaruhi keadaan sosio politik dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Proposal utama dari homeschooling adalah memberikan alternatif bagi masyarakat sehingga masyarakat memiliki berbagai alternatif yang dapat dipilihnya.

Dalam ekspresi yang lebih positif, homeschooling dapat menggerakkan keluarga untuk terlibat aktif dalam pendidikan, menggantikan kepasrahan pada sistem sekolah. Partisipasi keluarga dengan seluruh kecintaan dan kepentingan masa depan anak-anak dapat menjadi sumber yang kuat untuk menjadi penggerak perubahan wajah dunia pendidikan di Indonesia.


Model Pendidikan Berbasis Keluarga

Homeschooling bukanlah sekedar mengungkung anak di rumah, mengundang guru privat yang mahal, dan model belajar artis yang malas pergi ke sekolah. Sebagai sebuah gagasan dan praktek, homeschooling jauh lebih substantif dibandingkan persepsi yang berkembang di masyarakat itu.

Homeschooling adalah gerakan “back to basic”, memasuki kembali esensi-esensi pembelajaran yang tak dipasung oleh tempat belajar, jam belajar, keharusan-keharusan administratif dan ritual-ritual (baju seragam, uang gedung, buku baru, ijazah, wisuda, dll) yang semakin menggantikan esensi proses belajar. Dengan motto “belajar di mana saja, kapan saja, bersama siapa saja”, homeschooling memberikan kesempatan proses belajar yang kontekstual dan penggunaan kehidupan keseharian sebagai sumber belajar.

Sementara model sekolah bersifat massal dan mengejar standar-standar eksternal seperti pabrik, homeschooling memberikan peluang untuk melakukan kustomisasi pendidikan; mulai aspek penentuan tujuan, pemilihan materi ajar, dan metode-metode yang digunakan dalam proses belajar. Homeschooling memberikan kesempatan kepada orangtua untuk menghargai keragaman jenis kecerdasan anak (multiple intelligences) yang tak mungkin dikembangkan dalam sistem pendidikan massal.

Homeschooling bukanlah mengubah orangtua menjadi guru untuk proses belajar anak-anak karena kemampuan orangtua pasti terbatas. Peran utama orangtua dalam homeschooling adalah menjadi mentor dan fasilitator. Proses utama dalam pembelajaran homeschooling adalah menumbuhkan dan menggerakkan spirit belajar anak-anak sehingga anak-anak dapat menjadi pembelajar mandiri. Berbeda dengan model sekolah, homeschooling justru semakin mudah dilaksanakan pada saat anak semakin besar karena semakin anak menjadi besar, anak semakin mandiri.

Karena homeschooling dibangun dengan keluarga sebagai entitas penggerak kegiatan belajar, homeschooling meniscayakan keragaman dan sistem terdistribusi. Tak ada pusat dan model standar homeschooling karena setiap keluarga bebas merancang model pendidikan sesuai tujuan-tujuan pendidikan keluarga yang khas. Yang ada adalah entitas-entitas otonom, yang saling berinteraksi dalam proses penyelenggaraan pendidikan.


Gerakan Homeschooling di Dunia

Homeschooling bukanlah sebuah ide asing di Indonesia dan dunia. Homeschooling adalah model awal pendidikan, sebelum pendidikan distrukturkan dan dilembagakan dalam institusi-institusi sekolah sebagaimana yang berkembang dalam beberapa abad terakhir ini.

Dalam khazanah Indonesia, ide-ide homeschooling dapat kita lihat akarnya dari proses belajar otodidak, magang bisnis di kalangan pengusaha China, belajar dari orangtua dan kolega di kalangan pesantren. Tokoh-tokoh semisal KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka adalah contoh diantara anggota masyarakat yang pernah menjalani pendidikan dengan model otodidak atau homeschooling.

Saat ini, di Indonesia ada sekitar 1400 orang yang melakukan homeschooling. Walaupun jumlah siswa homeschooling masih relatif kecil dibandingkan total seluruh siswa sekolah, siswa homeschooling terus bertambah dan tumbuh. Di Amerika Serikat saja, saat ini ada sekitar 3 juta siswa homeschooling dengan laju pertumbuhan 15% per tahun. Di Kanada, pada periode 2000-2001 ada sekitar 95.000 siswa homeschooling, di New Zealand sekitar 7000 (1996), Australia 55.000, dan masih banyak lagi kegiatan homeschooling yang tak terdata secara resmi di berbagai belahan dunia.

Di Amerika Serikat, walaupun homeschooling banyak diawali oleh kalangan agama yang merasa terancam nilai-nilai tradisionalnya (1970-an), praktisi homeschooling semakin beragam. Pertumbuhan homeschooling yang didasarkan pada alasan akademis semakin meningkat karena, berdasarkan riset, anak-anak homeschooling tidak kalah berprestasi dibandingkan anak-anak sekolah. Kekhawatiran mengenai isu sosialisasi dan eksklusivitas pun semakin tereduksi oleh fakta bahwa anak-anak homeschooling dapat berintegrasi secara sosial di masyarakat.

It works! Homeschooling dapat dipraktekkan, itulah kunci perkembangan homeschooling yang terus tumbuh di masyarakat. Homeschooling dapat diselenggarakan oleh keluarga dengan latar belakang rata-rata; baik dari segi ekonomi maupun latar belakang pendidikan. Yang dibutuhkan adalah komitmen keluarga (orangtua dan anak) serta kesediaan orangtua untuk terus belajar dan bekerja keras mengembangkan kreativitas untuk meningkatkan proses pembelajaran anak-anaknya.


Peluang & Tantangan Bersama

Sebagai sebuah model pendidikan alternatif di masyarakat, homeschooling memberikan peluang untuk berkontribusi pada perbaikan wajah pendidikan di Indonesia. Tentu saja harapan itu membutuhkan kerja keras agar gagasan-gagasan di homeschooling dapat dicerna masyarakat dengan baik.

Dengan gagasan menjadikan keluarga sebagai sentral perubahan pendidikan, gagasan homeschooling layak untuk didorong karena memberikan kesempatan pada setiap keluarga untuk menentukan apa yang terbaik buat dirinya. Homeschooling merupakan salah satu wujud demokratisasi pendidikan. Spirit otonom ini dapat menjadi energi yang kuat untuk memelihara kelangsungan gerakan ini.

Untuk dapat berkembang baik, homeschooling perlu menghadapi tantangan-tantangan yang ada di hadapannya, antara lain:


a. Dukungan legalitas

Secara prinsip, eksistensi homeschooling dijamin melalui UU Sisdiknas no 20/2003 pasal 27 yang mengatur pengakuan pendidikan jalur informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan. Negara juga menjamin praktisi pendidikan informal untuk mengikuti Pendidikan Kesetaraan jika praktisi homeschooling menginginkan kesetaraan dengan pendidikan formal (sekolah).

Tantangan legalitas homeschooling adalah mengembangkan aturan-aturan teknis yang lebih pasti dan tetap sederhana. Kesederhanaan menjadi kata kunci penyusunan aturan teknis yang mencerminkan keberpihakan negara untuk memfasilitasi inisiatif yang tumbuh di masyarakat.


b. Pembangunan infrastruktur kelembagaan

Untuk mendukung perkembangan homeschooling, diperlukan inisiatif-inisiatif untuk merekatkan kegiatan-kegiatan pembelajaran di setiap keluarga. Pembentukan komunitas belajar, interaksi antar-keluarga dan antar-komunitas diperlukan untuk menciptakan proses sinergi sekaligus pencarian model-model “best practises” yang beragam dalam penyelenggaraan homeschooling. Jaringan pembelajar (learners network) menjadi salah satu pelumas dan penggerak proses belajar dalam homeschooling.

Di masa depan, sarana fisik yang dibutuhkan dalam pengembangan homeschooling adalah pembentukan pusat belajar (learning center), perpustakaan, laboratorium, dan bengkel belajar. Lembaga-lembaga ini tidak menempel di sekolah, tetapi menjadi institusi mandiri yang dapat dimanfaatkan oleh siswa homeschooling atau siapapun yang membutuhkannya.


c. Kerangka kultural

Karena kekuatan dari homeschooling terletak pada keluarga, kunci keberhasilan homeschooling terletak pada penumbuhan kultur keluarga yang sehat. Kesehatan kultur keluarga bukan hanya terletak pada komitmennya untuk mendukung anak secara akademis-intelektual, tetapi juga komitmen untuk mengembangkan nilai-nilai moral tertinggi dan penghargaan terhadap keragaman (pendidikan multikultural) agar anak-anak dapat menjadi bagian integral yang dapat menyatu sekaligus menjadi agen perubahan untuk perbaikan masyarakat.


d. Pengembangan komunitas

Untuk mengembangkan aspek sosial dari proses pembelajaran, tantangan homeschooling adalah mengembangkan model belajar komunitas yang memungkinkan pengembangan aspek-aspek sosial dari anak homeschooling. Berbeda dengan model sekolah yang bersifat rigid dan terstruktur ketat, komunitas bersifat longgar dan cair yang berfungsi untuk mengintegrasikan proses-proses belajar individual yang diselenggarakan di rumah menjadi sebuah kerangka pandang holistik pada anak.

Demikian paparan sekilas mengenai homeschooling sebagai salah satu model alternative pendidikan. Mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menjadi pengantar diskusi/sharing kita mengenai pendidikan di Indonesia.


» Lanjut

Inspirasi indonesia tentang Pendidikan

Memetakan wajah dunia pendidikan Indonesia adalah seperti memandang karut-marut negeri ini. Lebih mudah mengidentifikasi borok-borok pendidikan dibandingkan melihat inspirasi yang ada di dunia pendidikan, yang memberikan optimisme untuk kehidupan masa depan anak-anak Indonesia.
Sebut saja, dunia akademik sekolah-sekolah kita jauh dari prestasi para siswanya. Walaupun ada prestasi siswa Indonesia yang menjadi juara dalam Olimpiade ilmu pengetahuan dunia, prestasi tersebut bukan produk dari pendidikan di sekolah.


Dalam hal prestasi, sebagian besar siswa sekolah justru sibuk dijejali dengan solusi-solusi instan bimbingan belajar atau perpanjangan jam belajar sejak pagi hingga sore hari karena pendidikan yang normal dianggap tak memadai.
Dalam dunia pendidikan kita, sudah jamak kita temui lulusan SMA yang tidak memiliki kompetensi dan ketrampilan vokasional untuk hidup. Sebab, sistem pendidikan memang disiapkan hanya sebagai jenjang untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Tak sanggup kuliah, tak mampu berkarya, anak-anak lulusan SMP dan SMA kemudian melakukan migrasi ke kota untuk menjadi buruh-buruh pabrik yang rentan terhadap eksploitasi karena rendahnya daya tawar ketrampilan yang dimilikinya.

Belum lagi isu akhlak, moralitas, dan karakter yang menyertai proses dan hasil pendidikan. Kecurangan ujian, tradisi mencontek, pornografi remaja, narkoba, hingga tawuran terus menjadi masalah-masalah siswa di sekolah. Bahkan, tawuran tak lagi menjadi monopoli anak SMP-SMA. Mahasiswa yang dianggap sebagai kelompok elit masyarakat berbasis intelektual pun sibuk melakukan tawuran dan anarkisme di mana-mana.

Secara struktural, kebijakan pendidikan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang menggembirakan. Orientasi pendidikan yang tak jelas, birokrasi pendidikan yang sibuk dengan politik-organisasi, komitmen dan pengelolaan dana yang kacau. Yang terakhir, perlakuan pendidikan sebagai institusi bisnis yang membuat dunia pendidikan semakin jauh dari harapan masyarakat umum. Pendidikan yang baik semakin mahal dan tak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat.

Ujung-ujungnya, semua kesemrawutan dalam pendidikan itu ditanggung oleh masyarakat.

Lalu, apa harapan kita sebagai anggota masyarakat? Akankah kita menjadi katak yang direbus pelan-pelan hingga kemudian ketika air mendidih menjadi tak sanggup melompat lagi dan mati?

Berkeluh-kesah boleh-boleh saja. Tapi berkeluh-kesah tak banyak berguna kecuali membuang sampah emosi kita ke alam semesta. Sambil mendorong terus perubahan dan pembaruan pendidikan, kita memerlukan inisiatif dan tindakan-tindakan yang dapat menjadi inspirasi dan alternatif buat masyarakat.


Membangun Model Alternatif

Artikel ini membahas mengenai homeschooling sebagai salah satu inisiatif dan model pendidikan alternatif bagi masyarakat. Sebagai sebuah gerakan, homeschooling menemukan signifikansinya dalam konteks inisiatif kultural yang dilakukan masyarakat sebagai respon terhadap model pendidikan yang tak memenuhi harapan.

Dalam konteks gerakan masyarakat sipil (civil society), homeschooling merupakan wujud keterlibatan/inisiatif masyarakat untuk mempengaruhi keadaan sosio politik dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Proposal utama dari homeschooling adalah memberikan alternatif bagi masyarakat sehingga masyarakat memiliki berbagai alternatif yang dapat dipilihnya.

Dalam ekspresi yang lebih positif, homeschooling dapat menggerakkan keluarga untuk terlibat aktif dalam pendidikan, menggantikan kepasrahan pada sistem sekolah. Partisipasi keluarga dengan seluruh kecintaan dan kepentingan masa depan anak-anak dapat menjadi sumber yang kuat untuk menjadi penggerak perubahan wajah dunia pendidikan di Indonesia.


Model Pendidikan Berbasis Keluarga

Homeschooling bukanlah sekedar mengungkung anak di rumah, mengundang guru privat yang mahal, dan model belajar artis yang malas pergi ke sekolah. Sebagai sebuah gagasan dan praktek, homeschooling jauh lebih substantif dibandingkan persepsi yang berkembang di masyarakat itu.

Homeschooling adalah gerakan “back to basic”, memasuki kembali esensi-esensi pembelajaran yang tak dipasung oleh tempat belajar, jam belajar, keharusan-keharusan administratif dan ritual-ritual (baju seragam, uang gedung, buku baru, ijazah, wisuda, dll) yang semakin menggantikan esensi proses belajar. Dengan motto “belajar di mana saja, kapan saja, bersama siapa saja”, homeschooling memberikan kesempatan proses belajar yang kontekstual dan penggunaan kehidupan keseharian sebagai sumber belajar.

Sementara model sekolah bersifat massal dan mengejar standar-standar eksternal seperti pabrik, homeschooling memberikan peluang untuk melakukan kustomisasi pendidikan; mulai aspek penentuan tujuan, pemilihan materi ajar, dan metode-metode yang digunakan dalam proses belajar. Homeschooling memberikan kesempatan kepada orangtua untuk menghargai keragaman jenis kecerdasan anak (multiple intelligences) yang tak mungkin dikembangkan dalam sistem pendidikan massal.

Homeschooling bukanlah mengubah orangtua menjadi guru untuk proses belajar anak-anak karena kemampuan orangtua pasti terbatas. Peran utama orangtua dalam homeschooling adalah menjadi mentor dan fasilitator. Proses utama dalam pembelajaran homeschooling adalah menumbuhkan dan menggerakkan spirit belajar anak-anak sehingga anak-anak dapat menjadi pembelajar mandiri. Berbeda dengan model sekolah, homeschooling justru semakin mudah dilaksanakan pada saat anak semakin besar karena semakin anak menjadi besar, anak semakin mandiri.

Karena homeschooling dibangun dengan keluarga sebagai entitas penggerak kegiatan belajar, homeschooling meniscayakan keragaman dan sistem terdistribusi. Tak ada pusat dan model standar homeschooling karena setiap keluarga bebas merancang model pendidikan sesuai tujuan-tujuan pendidikan keluarga yang khas. Yang ada adalah entitas-entitas otonom, yang saling berinteraksi dalam proses penyelenggaraan pendidikan.


Gerakan Homeschooling di Dunia

Homeschooling bukanlah sebuah ide asing di Indonesia dan dunia. Homeschooling adalah model awal pendidikan, sebelum pendidikan distrukturkan dan dilembagakan dalam institusi-institusi sekolah sebagaimana yang berkembang dalam beberapa abad terakhir ini.

Dalam khazanah Indonesia, ide-ide homeschooling dapat kita lihat akarnya dari proses belajar otodidak, magang bisnis di kalangan pengusaha China, belajar dari orangtua dan kolega di kalangan pesantren. Tokoh-tokoh semisal KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka adalah contoh diantara anggota masyarakat yang pernah menjalani pendidikan dengan model otodidak atau homeschooling.

Saat ini, di Indonesia ada sekitar 1400 orang yang melakukan homeschooling. Walaupun jumlah siswa homeschooling masih relatif kecil dibandingkan total seluruh siswa sekolah, siswa homeschooling terus bertambah dan tumbuh. Di Amerika Serikat saja, saat ini ada sekitar 3 juta siswa homeschooling dengan laju pertumbuhan 15% per tahun. Di Kanada, pada periode 2000-2001 ada sekitar 95.000 siswa homeschooling, di New Zealand sekitar 7000 (1996), Australia 55.000, dan masih banyak lagi kegiatan homeschooling yang tak terdata secara resmi di berbagai belahan dunia.

Di Amerika Serikat, walaupun homeschooling banyak diawali oleh kalangan agama yang merasa terancam nilai-nilai tradisionalnya (1970-an), praktisi homeschooling semakin beragam. Pertumbuhan homeschooling yang didasarkan pada alasan akademis semakin meningkat karena, berdasarkan riset, anak-anak homeschooling tidak kalah berprestasi dibandingkan anak-anak sekolah. Kekhawatiran mengenai isu sosialisasi dan eksklusivitas pun semakin tereduksi oleh fakta bahwa anak-anak homeschooling dapat berintegrasi secara sosial di masyarakat.

It works! Homeschooling dapat dipraktekkan, itulah kunci perkembangan homeschooling yang terus tumbuh di masyarakat. Homeschooling dapat diselenggarakan oleh keluarga dengan latar belakang rata-rata; baik dari segi ekonomi maupun latar belakang pendidikan. Yang dibutuhkan adalah komitmen keluarga (orangtua dan anak) serta kesediaan orangtua untuk terus belajar dan bekerja keras mengembangkan kreativitas untuk meningkatkan proses pembelajaran anak-anaknya.


Peluang & Tantangan Bersama

Sebagai sebuah model pendidikan alternatif di masyarakat, homeschooling memberikan peluang untuk berkontribusi pada perbaikan wajah pendidikan di Indonesia. Tentu saja harapan itu membutuhkan kerja keras agar gagasan-gagasan di homeschooling dapat dicerna masyarakat dengan baik.

Dengan gagasan menjadikan keluarga sebagai sentral perubahan pendidikan, gagasan homeschooling layak untuk didorong karena memberikan kesempatan pada setiap keluarga untuk menentukan apa yang terbaik buat dirinya. Homeschooling merupakan salah satu wujud demokratisasi pendidikan. Spirit otonom ini dapat menjadi energi yang kuat untuk memelihara kelangsungan gerakan ini.

Untuk dapat berkembang baik, homeschooling perlu menghadapi tantangan-tantangan yang ada di hadapannya, antara lain:


a. Dukungan legalitas

Secara prinsip, eksistensi homeschooling dijamin melalui UU Sisdiknas no 20/2003 pasal 27 yang mengatur pengakuan pendidikan jalur informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan. Negara juga menjamin praktisi pendidikan informal untuk mengikuti Pendidikan Kesetaraan jika praktisi homeschooling menginginkan kesetaraan dengan pendidikan formal (sekolah).

Tantangan legalitas homeschooling adalah mengembangkan aturan-aturan teknis yang lebih pasti dan tetap sederhana. Kesederhanaan menjadi kata kunci penyusunan aturan teknis yang mencerminkan keberpihakan negara untuk memfasilitasi inisiatif yang tumbuh di masyarakat.


b. Pembangunan infrastruktur kelembagaan

Untuk mendukung perkembangan homeschooling, diperlukan inisiatif-inisiatif untuk merekatkan kegiatan-kegiatan pembelajaran di setiap keluarga. Pembentukan komunitas belajar, interaksi antar-keluarga dan antar-komunitas diperlukan untuk menciptakan proses sinergi sekaligus pencarian model-model “best practises” yang beragam dalam penyelenggaraan homeschooling. Jaringan pembelajar (learners network) menjadi salah satu pelumas dan penggerak proses belajar dalam homeschooling.

Di masa depan, sarana fisik yang dibutuhkan dalam pengembangan homeschooling adalah pembentukan pusat belajar (learning center), perpustakaan, laboratorium, dan bengkel belajar. Lembaga-lembaga ini tidak menempel di sekolah, tetapi menjadi institusi mandiri yang dapat dimanfaatkan oleh siswa homeschooling atau siapapun yang membutuhkannya.


c. Kerangka kultural

Karena kekuatan dari homeschooling terletak pada keluarga, kunci keberhasilan homeschooling terletak pada penumbuhan kultur keluarga yang sehat. Kesehatan kultur keluarga bukan hanya terletak pada komitmennya untuk mendukung anak secara akademis-intelektual, tetapi juga komitmen untuk mengembangkan nilai-nilai moral tertinggi dan penghargaan terhadap keragaman (pendidikan multikultural) agar anak-anak dapat menjadi bagian integral yang dapat menyatu sekaligus menjadi agen perubahan untuk perbaikan masyarakat.


d. Pengembangan komunitas

Untuk mengembangkan aspek sosial dari proses pembelajaran, tantangan homeschooling adalah mengembangkan model belajar komunitas yang memungkinkan pengembangan aspek-aspek sosial dari anak homeschooling. Berbeda dengan model sekolah yang bersifat rigid dan terstruktur ketat, komunitas bersifat longgar dan cair yang berfungsi untuk mengintegrasikan proses-proses belajar individual yang diselenggarakan di rumah menjadi sebuah kerangka pandang holistik pada anak.

Demikian paparan sekilas mengenai homeschooling sebagai salah satu model alternative pendidikan. Mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menjadi pengantar diskusi/sharing kita mengenai pendidikan di Indonesia.


» Lanjut

Sastra dan Inspirasinya


“Imagination is more important than knowledge,” demikian komentar Einstein bapak penemu teori relativitas.

Einstain menyadari bahwa imajinasi merupakan mustika berharga, yang menyuplai ide-ide baginya. Imajinasi ini diperolehnya melalui dunia sastra. Tak heran jika Einstein kemudian menjadi penggemar berat sastra, terutama puisi-puisi penyair romantik seperti Wordsworth dan Mary Shelley.


Einstein nampaknya terinspirasi mengikuti jejak pendahulunya Alfred North Whitehead—seorang ahli matematika sekaligus pengarang karya monumental Principia Mathematica (1910)—yang juga penggemar berat Wordsworth dan Mary Shelley.

Sebagaimana Einstein, Zen seorang kandidat doktor dari Indonesia yang sedang belajar phisika murni di Universitas Kyoto (1991), memberikan pengakuan bahwa ia sangat dekat dengan sastra. Dengan sastra, ia dibelajarkan untuk melakukan penjelajahan imajinasi yang tak terbatas, sehingga baginya sastra bukan semu atau khayal, tetapi konkrit (Putu Wijaya, 2007).

Karakter khas sastra ini juga di kemukakan I.A Richard dalam bukunya Peotries and Science (1926). Menurut Richard, dunia sastra mampu menyuguhkan imajinasi sehingga memberi inspirasi orang untuk berkarya. Sastra juga bisa menjadi basis (core) bagi munculnya berbagai disiplin keilmuan. Banyak pemikir inovatif dalam ilmu sosial dan eksak, mempunyai latar belakang teori sastra yang kuat atau setidaknya penikmat sastra. Sebut saja misalnya, Edward W. Said, yang membongkar epistemologi orientalisme sambil membuka pintu poskolonialisme; Michel Foucault, yang mengadakan analisis wacana untuk melihat prawacana; atau Antonio Gramsci, yang melihat sastra sebagai medium pembaharuan moral dan untuk mengungkapkan ideologi-ideologi kelompok sosial, dan sebagainya. Kenyataan ini, menjadi penanda bahwa sastra menjadi layaknya bapak asuh bagi para ilmuan.

Kita juga tentu kenal Teori Heliosentris (matahari sebagai pusat orbit) yang dilontarkan Copernicus tahun 1512. Teori monumental ini sempat menuai kontroversi, lantaran membalik doktrin gereja yang berabad-abad lamanya diyakini sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Tentu saja teori ini tidak lahir melalui observasi dengan pergi ke orbit matahari, tetapi berawal dari imajinasi dan intuisi Copernicus—yang juga seorang sastrawan.

Demikian halnya kemunculan ilmu Matematika atau Aljabar. Disiplin ilmu tersebut lahir dari ekspresi atau luapan imajinasi yang diguratkan dengan angka, simbol dan deretan rumus atau persamaan-persamaan. Bahkan, beberapa ilmuwan ternama seperti astronomer Carl Sagan, kosmolog Free Dyson, dan rocketry Wernher Von Braun, mengawali karir mereka dari kegemaran membaca sastra fiksi-fiksi sains.

Saling Memengaruhi
Richard (1926) meramalkan bahwa abad modern, akan menjadi masa-masa kemenangan sastra. Pada abad tersebut, sastra bakal kembali diperbincangkan secara serius. Hal ini lantaran masyarakat abad modern didera krisis dahaga spiritualitas yang amat sangat. Tatkala sains hanya mementingkan persoalan materialis-hedonis, sementara agama hanya mengurusi persoalan akhirat atau eskatologi, sastra hadir menjembatani keduanya.

Sains dengan kelebihannya, memang sanggup memenuhi kebutuhan fisik-materialistik dan hedonis setiap orang. Akan tetapi, dahaga batiniah yang sudah mencapai titik akut tersebut, tidak bisa ditawarkan dengan kesenangan sesaat. Oleh karena itu, Richard menganjurkan manusia modern untuk menghidupkan kembali dunia sastra. Sebab, melalui sastra—yang kaya unsur estetis, filosofis, imajinasi dan emosional—dahaga batiniah umat manusia bakal terobati.

Sayangnya, sastra yang merupakan pengejawantahan perasaan dan intuisi, sering kali dianggap tidak ada kontribusinya bagi kehidupan. Masyarakat kita selalu memandangnya dengan sebelah mata. Para orangtua merasa rugi jika putra-putrinya, kebetulan kuliah di jurusan atau fakultas sastra. Apalagi, jika menjadi sastrawan atau memiliki menantu sastrawan. Para orangtua pasti mengelus dada, mau diberi makan apa anak istri sastrawan ? Dalam stigma mereka, ukuran kehidupan ditentukan oleh materi, sementara sastra tidak mampu menghasilkan kelimpahan materi layaknya sains.

Selain itu, acapkali perasaan dan instuisi—sebagai basis sastra—dipertentangkan dengan pikiran sebagai basis sains. Pada konteks nyata, ada anggapan sastrawan tidak perlu berpikir—tidak membutuhkan ilmuwan—sementara ilmuwan tidak perlu asupan darah dan belulang sastra. Padahal, ilmuwan perlu mengimajinasikan sebuah gambar kawasan atau obyek yang akan ditelitinya, sebelum ia mulai membangun teori lalu mengujinya. Meski langkah sains dituntun oleh metodologis yang khas, tetapi imajinasi merupakan pendahulu semua langkah empiris tersebut. Dengan kata lain, ilmuwan perlu sastra sebagai penopang alam imajinasinya tatkala mengkonsep sebuah hipotesa atau asumsi penelitian.

Pada ranah ontologi (metafisis), sastra dan sains merupakan satu kesatuan. Sebab, antara sastra dan sains sama-sama berupaya mengajukan model-model tentang kenyataan. Persinggungan lainnya ialah pada ranah formal, yakni sama bermain dengan manipulasi simbolik. Keduanya saling memengaruhi, sains juga dapat menjadi inspirasi bagi sastrawan atau juga sebaliknya. Misalnya Edgar Allan Poe (Eureka), Lewis Carrol (Alice’s Adventure in Wonderland), dan Jorge Luis Borges (Ficciones) merupakan penulis yang berhasil menautkan sastra dan sains.

Banyak kisah dari fiksi-sains yang menjadi inspirasi penemuan sains hebat. Misalnya, penemuan bom atom, balon udara Zeppelin dan pesawat luar angkasa Appolo 11 milik NASA, terinspirasi kisah-kisah yang ditulis Jules Verne dalam novel fuksi-sains From The Earth to the Moon. Lantaran ide-ide genius tersebut, Jules Verna mendapat julukan Bapak Fiksi Sains. Sementara, penulis lain yang karyanya tak kalah mencengangkan adalah H.G. Wells, dengan karya The Time Machine (1895), The Invisible Man (1897), The War of the Worlds (1898), The First Men in the Moon (1901), dan beberapa koleksi novel menarik lainnya. Hingga sekarang, karya-karya fiksi sains tidak hanya berupa novel saja tetapi juga telah diadaptasi ke dalam film dan televisi; seperti, Star Wars, The Matrix, Independence Day, Star Trek, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan betapa keistimewaan imajinasi yang disuguhkan sastra, banyak memberi kontribusi positif bagi sains, terutama sebagai inspirasi ilmuwan membuat karya teknologi.

Sayangnya, perkembangan sains teknologi dan sastra di Indonesia sendiri secara umum masih terperangkap dalam bingkai "dua budaya", yakni sains belum memberikan masukan berarti dalam perkembangan sastra. Sementara kecenderungan umum dalam sastra kita, yakni merayakan sains dan teknologi dengan kekaguman, atau bersikap kritis terhadap sains dan teknologi. Selain itu, sastra juga masih menjadi dunia para penghayal, sementara sains mengukuhkan dirinya sebagai basis kenyataan dan kemajuan (Yasraf Amir Piliang, 2007).

Kecenderungan ini juga terasa di perguruan-perguruan tinggi (PT) kita. Mata kuliah atau jurusan sastra kurang populer—untuk mengatakan kurang diminati—di kalangan mahasiswa ketimbang mata kuliah atau jurusan sains. Mestinya, ada integrasi atau penambahan muatan mata kuliah antar kedua fakultas tersebut. Mahasiswa jurusan sastra misalnya, diperkenalkan dengan dunia sains agar kompetensi sastra yang dimilikinya, bisa memberi sumbangsih positif bagi kemajuan sains. Demikian halnya mahasiswa yang selama ini berkecimpung di dunia sains, juga harus diakrabkan dengan sastra—sebagaimana yang diterapkan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tujuannya, mahasiswa diajak untuk berekreasi imajiner dan memaknai berbagai sisi kehidupan yang dapat dipetik dari karya sastra yang dibahas.

Selain itu, melalui sastra mahasiswa juga diajak menguliti esensi kehidupan untuk mempertebal rasa kemanusiaan, sekaligus menjadi semacam “starter”, pemicu pada penjelajahan pemikiran yang tak terbatas ke segala arah. Hadirnya sastra dalam fakultas atau jurusan sains, juga sebagai upaya meminimalisasi peran teknologi yang selalu arogan dan merasa give solution. Dengan kata lain, sastra bisa menjadi semacam oase di tengah keangkuhan sains. Semoga

» Lanjut

Senin, 04 Agustus 2008



» Lanjut

Kata Mutiara

http://tanpatinta.blogspot.com/ Kata Bijak hari Ini: Selanjutnya

Panduan Jiwa

Coretan


Free chat widget @ ShoutMix