Senin, 30 Juni 2008

PENDAHULUAN
Pelatihan di alam bebas, yang sering dikenal sebagai outdoor training, merupakan salah satu metode pelatihan yang cukup populer sejak tahun 1980-an (Wagner, Baldwin, Roland, 1991). Perusahaan-perusahaan besar seperti AT&T, Xerox, General Electric, dan Marriott seringkali mengirim para eksekutif ataupun staff mereka untuk mengikuti kegiatan pelatihan di alam bebas (Long, 1987). Pelatihan tipe ini menjadi terkenal karena dianggap sangat efektif untuk mencapai berbagai tujuan pelatihan, misalnya pertumbuhan individu (Galagan, 1987) dan ketrampilan manajemen organisasi (Long, 1987). Tabel di bawah ini memberikan gambaran persentase pelatihan di alam bebas yang ingin mencapai tujuan tertentu (Wagner, Baldwin, & Roland; 1991):
Team building 90%
Self esteem 50%
Kepemimpinan 40%
Ketrampilan menyelesaikan masalah 20%
Pengambilan keputusan 15%


Tulisan ini berusaha menganalisis proses belajar yang terjadi di dalam metode pelatihan di alam bebas dan mengevaluasi efektivitasnya, terutama di dalam konteks team building dalam organisasi.
PROSES BELAJAR
Dengan menggunakan berbagai teori psikologi belajar yang telah diajukan para ahli di bidang pelatihan, di bawah ini akan dibahas hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para fasilitator pelatihan di alam bebas untuk memastikan bahwa para peserta maupun organisasi mencapai tujuannya.
Need Assessment: Memastikan bahwa pelatihan relevan
Dalam tulisan mereka, Buller, Cragun, & McEvoy (1991) mengajukan bahwa pelatihan di alam bebas yang optimal harus dimulai dengan training need analysis, misalnya berupa wawancara dengan sponsor-sponsor kunci, peserta program, atau staf SDM dari perusahaan klien. Pemikiran yang sama juga diajukan oleh Long (1987) dan Petrini (1990). Mereka mengatakan bahwa pelatihan di alam bebas harus didesain sesuai dengan kebutuhan organisasi tertentu.
Usulan ini sangat sesuai dengan best practice yang diajukan oleh Goldstein (1994), yang menyatakan bahwa langkah pertama dalam melakukan persiapan pelatihan adalah melakukan training need assessment. Hasil dari proses ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun tujuan, kriteria, dan desain pelatihan.

Sebuah contoh kasus dapat memperjelas fungsi dari training need analysis. Kegiatan berjalan di jembatan tali adalah salah satu kegiatan yang cukup populer dan sering diminta oleh klien ketika mereka menggunakan metode pelatihan di alam bebas. Namun, pelatih yang baik tidak akan begitu saja memenuhi permintaan ini. Kegiatan berjalan di jembatan tali bisa jadi tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai organisasi klien. Jika tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan individu, maka kegiatan berjalan di jembatan tali bisa dipilih karena dalam kegiatan ini individu dapat menemukan karakter-karakter pribadi yang mungkin sebelumnya tidak mereka ketahui, misalnya bagaimana mereka bersikap ketika merasa stress atau bagaimana mereka dapat mengatasi rasa takut. Namun jika tujuan pelatihan adalah team building atau kepemimpinan, kegiatan berjalan di jembatan tali tidak akan sesuai karena dalam kegiatan ini tidak banyak terjadi interaksi antar anggota kelompok, sementara interaksi sosial merupakan unsure penting dalam kegiatan team building atau kepemimpinan (Petrini, 1990).
Desain Pelatihan: Memastikan bahwa proses belajar benar terjadi
Menurut Kehoe & Bright (2003), ada empat prinsip utama yang mempengaruhi keberhasilan pelatihan: proses encoding untuk mengoptimalkan beban kognitif, memori yang membantu pembentukan skema, proses konstruktif yang mendorong interaksi antar individu, serta umpan balik yang memberikan bimbingan bagi peserta.
Keempat prinsip utama ini dapat diterapkan dalam mendesain pelatihan melalui beberapa strategi. Bagian tulisan ini akan membahas strategi-strategi yang digunakan dalam pelatihan di alam bebas.
• Beban Kognitif – Pengurutan dari yang Sederhana ke yang Rumit: Teori Beban Kognitif banyak digunakan oleh para ahli pelatihan untuk mendesain presentasi informasi yang paling optimal pada waktu pelatihan (Sweller, van Merrienboer, & Paas, 1998; Paas, Renkl, & Sweller, 2003). Dalam teori ini, salah satu hal utama yang diajukan adalah bahwa manusia memiliki kemampuan memori jangka pendek yang terbatas dan keterbatasan ini harus dipertimbangkan ketika menyusun informasi yang akan dipresentasikan di dalam pelatihan sehingga tidak terjadi kelebihan beban kognitif yang akan membuat pelatihan menjadi tidak efektif. Dalam konteks pelatihan di alam bebas, beban kognitif yang sesuai dapat dicapai melalui strategi pengurutan kegiatan, pelatihan dapat diawali dengan kegiatan yang sederhana atau mudah, dan kemudian makin lama menuju kegiatan yang makin rumit atau sulit. Petrini (1990) memberikan gambaran program pelatihan di alam bebas yang diawali dengan kegiatan yang sederhana dengan problem yang mudah diselesaikan, misalnya bagaimana caranya menyebrangi rawa-rawa beracun. Menjelang akhir program, peserta pelatihan bisa diberi tugas yang jauh lebih rumit misalnya misi SAR di mana mereka harus menggunakan berbagai ilmu yang sudah didapatkan pada kegiatan-kegiatan sebelumnya (seperti navigasi dengan kompas, mengendalikan rakit, membuat tangga dari tali untuk mengevakuasi korban, dsb). Dengan pengurutan seperti ini, peserta program dapat terhindarkan dari beban kognitif yang terlalu berat pada awal pelatihan karena beban kognitif yang terlalu berat tadi dapat memberikan pengaruh negatif pada proses belajar, hasil belajar, serta motivasi (van Merrienboer, Kirschner, & Kester, 2003).
• Proses Konstruktif – Elaborasi: Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam program pelatihan untuk memastikan terjadinya proses konstruktif adalah dengan memberikan kesempatan pada peserta pelatihan untuk mengelaborasi atau mencari hubungan antara materi pelatihan dengan KSA (Knowledge, Skill, dan Ability) yang sudah mereka miliki karena hal ini telah terbukti merupakan cara yang efektif untuk memastikan bahwa materi pelatihan akan diingat lebih baik oleh peserta (Kehoe & Bright, 2003). Dalam konteks pelatihan di alam bebas, strategi ini bisa digunakan pada semua kegiatan. Semua pelatihan hampir selalu diikuti dengan sesi debriefing di mana peserta diberikan kesempatan untuk memberikan komentar mereka mengenai apa yang terjadi dalam kegiatan-kegiatan pelatihan dan apakah kegiatan tersebut memiliki makna pribadi bagi mereka (Galagan, 1987). Fasilitator yang baik seharusnya dapat membimbing peserta untuk berdiskusi mengenai apakah kegiatan yang dilakukan relevan dengan tujuan pelatihan. Information processing dalam sesi debriefing ini seharusnya merupakan kunci dari proses belajar bagi peserta pelatihan di alam bebas (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991).
• Bimbingan – Penggunaan Umpan Balik: Umpan balik telah disepakati oleh para ahli sebagai bagian yang sangat penting dalam proses belajar (Kehoe & Bright, 2003). Dalam program pelatihan, umpan balik seringkali tidak diberikan secara formal oleh para fasilitator, melainkan diperoleh peserta dari kritik yang diterima (perilaku benar vs tidak benar) atau instruksi (bagaimana caranya untuk melakukan perilaku yang benar). Dalam konteks pelatihan di alam bebas, fokus lebih ditekankan pada umpan balik dari sesama peserta, terutama dalam bentuk kritik. Misalnya, Galagan (1987) memberikan contoh bahwa dalam salah satu kegiatan yang didesain khusus untuk itu, peserta diminta memberikan pendapat yang jujur mengenai sesama peserta. Diskusi dengan sendirinya terarah menjadi sesi umpan balik di mana setiap orang menerima kritik mengenai perilaku mereka dalam tim atau dalam hubungan interpersonal. Cara yang tidak seekstrim itu namun juga dapat menjadi sarana umpan balik dari sesama peserta adalah dengan memanfaatkan sesi debriefing yang diadakan setelah kegiatan selesai. Kelompok dapat diminta mengevaluasi mengapa mereka berhasil atau gagal menyelesaikan tugas yang diberikan (Petrini, 1990). Dalam sesi ini, problem di dalam kelompok akan ditemukan misalnya anggota kelompok mana yang tidak membantu (Long, 1987). Umpan balik yang efektif sebaiknya menggabungkan kritik dengan instruksi (Kehoe & Bright, 2003), karena itu sesi saling mengkritik seperti digambarkan di atas biasanya akan langsung dilanjutkan dengan sesi konstruktif di mana anggota kelompok dengan bantuan dari fasilitator mencari cara-cara untuk menghindari kesalahan yang sama pada kegiatan berikutnya. Sesi konstruktif ini juga dapat berfungsi sebagai zona netral karena sesi saling mengkritik ada kemungkinan menciptakan suasana defensif yang bisa memberikan pengaruh negatif pada prestasi kelompok. Dalam zona netral ini anggota kelompok (terutama mereka yang banyak menerima kritik) diberi kesempatan untuk berkontribusi dengan cara membantu menemukan solusi yang efektif untuk problem kelompok (Long, 1987).
Transfer dan Retrieval: Memastikan bahwa Hasil Pelatihan Diterapkan di Tempat Kerja
Salah satu kelemahan utama dari kebanyakan modul pelatihan adalah hasil dari proses belajar selama di pelatihan tidak tampak membantu karyawan meningkatkan hasil kerja setelah kembali ke tempat kerja. Hal ini mungkin disebabkan karena pelatihan tidak didesain untuk dapat ditransfer ke tempat kerja dan juga di tempat kerja tidak memiliki retrieval triggers. Kedua hal ini akan dibahas dalam paragraf-paragraf berikut ini.
Hasil belajar yang tidak dapat ditransfer ke tempat kerja merupakan salah satu kelemahan utama pelatihan di alam bebas karena pengalaman di alam bebas sangat unik dan berbeda dari pengalaman bekerja sehari-hari (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991). Kegiatan dan konteks alam bebas yang unik ini di satu pihak membantu peserta untuk merasa lebih bebas dari peran mereka sehari-hari sehingga mereka lebih berani melakukan hal-hal yang baru dibandingkan dengan pelatihan biasa di dalam kelas (Long, 1987). Namun di lain pihak, konteks alam bebas ini bisa menjadi terlalu berbeda sehingga hasil belajar tidak dapat ditransfer tanpa adanya bantuan tambahan.
Tidak adanya kemiripan fisik antara lingkungan pelatihan dengan lingkungan kerja disebut low physical fidelity dan hal ini bisa menganggu proses transfer hasil belajar yang spesifik. Dalam kasus pelatihan di alam bebas, di mana transfer yang diharapkan lebih bersifat tidak spesifik, low physical fidelity seharusnya tidak menjadi masalah besar, terutama jika fasilitator memberikan alat-alat bantu untuk memudahkan transfer hasil belajar ke situasi yang berbeda dari situasi pelatihan (Kehoe & Bright, 2003).
Alat-alat bantu yang banyak digunakan dalam konteks pelatihan di alam bebas adalah penggunakan metafora atau analogi. Transfer didasarkan pada kesamaan struktur dari dua problem, bukan kesamaan fisik (Kehoe & Bright, 2003). Long (1987) mengajukan adanya beberapa aspek dari kegiatan di alam bebas yang merupakan analogi dari kegiatan di tempat kerja, misalnya:
• Dinamika kelompok: kerja sama dalam kelompok, komunikasi, saling mendukung antar anggota, kompetisi dengan kelompok lain, memanfaatkan sudut pandang yang berbeda untuk menyelesaikan masalah, dsb.
• Tantangan dalam bidang manajemen: bagaimana mengelola kelompok yang selalu berubah, menetapkan tujuan bersama, risk management, dsb.
• Keterbatasan lingkungan: anggota kelompok yang berada di lokasi yang berbeda-beda, keterbatasan sumber daya, sistem reward yang bersifat kompetitif, dsb.
Salah satu kendala utama dalam transfer analogi adalah individu seringkali terjebak pada apa yang tampak di permukaan dan sulit menemukan inti permasalahan. Hal ini disebut masalah kontekstualisasi dan pelatihan di alam bebas dapat menggunakan hal-hal berikut untuk mengatasinya (Kehoe & Bright, 2003):
• Variasi kasus: Pelatihan di alam bebas yang baik tidak akan mengandalkan satu kegiatan saja untuk mencapai tujuan pelatihan tertentu, melainkan akan memanfaatkan beberapa kegiatan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Misalnya, Galagan (1987) memberikan contoh kasus di mana tujuan pelatihan untuk ‘mengatasi rasa takut’ mula-mula diperkenalkan melalui kegiatan berjalan di jembatan tali dengan ketakutan fisik (takut jatuh) sebagai analogi untuk ketakutan di tempat kerja. Pada hari berikutnya, kegiatan lain pun diadakan dengan tujuan yang sama. Peserta diminta melakukan sesuatu yang kemungkinan besar akan ditertawakan oleh peserta yang lain, dan kali ini ketakutan psikologis (takut ditertawakan) yang menjadi analogi bagi ketakutan di tempat kerja.
• Mencari skema secara aktif: Strategi ini kembali memanfaatkan sesi debriefing. Peserta diminta untuk secara aktif memberikan komentar mengenai bagaimana kesimpulan yang didapatkan dari suatu kegiatan dapat diterapkan di tempat kerja (Buller, Cragun, & McEvoy, 1991). Dengan cara ini, peserta diharapkan tidak lagi terpaku pada konteks kegiatan di alam bebas melainkan memahami adanya kesamaan antara kegiatan pelatihan dengan kegiatan di tempat kerja.
• Solusi majemuk: Salah satu aspek lain yang cukup umum terdapat pada kegiatan pelatihan di alam bebas adalah tidak adanya jawaban pasti untuk masing-masing tugas yang diberikan. Dalam contoh menyebrangi rawa-rawa beracun yang telah disebutkan sebelumnya (Petrini, 1990), peserta bisa saja menciptakan jembatan gantung dari tali, menggunakan papan-papan sebagai jembatan, membuat rakit, atau menciptakan solusi lainnya selama masih memenuhi batas-batas yang diberikan fasilitator. Dengan demikian, peserta tidak terpaku mencari satu jawaban yang benar, dan dengan demikian diharapkan fokus pada kerja sama tim dapat dicapai.
Setelah peserta kembali di tempat kerja, bagaimana caranya mereka dapat ”mengingat” untuk menggunakan hasil belajar yang telah diperoleh di alam bebas? Banyak program pelatihan di alam bebas dilengkapi dengan cue yang akan membantu peserta mengubah materi pelatihan menjadi skema sehingga hasil belajar dapat segera diingat ketika situasi menuntut demikian (Kehoe & Bright, 2003).
Long (1987) memberikan contoh di mana retrieval hasil belajar dapat dilakukan dengan menggunakan cue yang sederhana seperti sepatah kata. Dalam contoh kasus yang diberikan, kata “spot” digunakan untuk mewakili kebutuhan individu untuk berhenti bekerja dan melakukan konsolidasi dengan anggota tim yang lain dengan tujuan meningkatkan kembali motivasi dan semangat kerja. Dalam kegiatan fisik, hal ini sangat relevan karena anggota tim bisa saja sewaktu-waktu berhenti dan minta “spot”. Anggota tim yang lain dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan, entah berupa bantuan fisik (seperti bantuan mengangkat rekan yang harus memanjat pohon) atau bantuan psikologis. Ketika tim kembali ke tempat kerja, sebenarnya tidak ada tuntutan fisik untuk saling melindungi dan mendukung antar anggota tim. Namun, jika seseorang menyebutkan “spot”, anggota tim yang lain akan segera mengingat pentingnya saling mendukung antara anggota tim sehingga akan lebih mudah bagi mereka untuk memberikan dukungan psikologis yang dibutuhkan.
EVALUASI
Seperti juga metode pelatihan lainnya, keberhasilan atau kegagalan pelatihan di alam bebas hanya dapat diketauhi setelah diadakannya proses evaluasi. Sayangnya, banyak perusahaan tidak melakukan evaluasi untuk program pelatihan di alam bebas yang mereka adakan, walaupun biayanya bisa mencapai 2,000 USD per orang (Wagner, Baldwin, & Roland, 1991). Kalaupun evaluasi dilakukan, kebanyakan hanya berupa evaluasi pribadi dari peserta pelatihan, yang menurut model Kirkpatrick (Tovey, 1997) tidak reliable jika tidak digabungkan dengan evaluasi jenis lain. Persentasi penggunakan metode evaluasi berdasarkan survei yang dilakukan oleh Wagner, Baldwin, & Roland (1991) adalah sebagai berikut:
Evaluasi pribadi dari peserta 60%
Tidak ada evaluasi 45%
Program follow-up 10%
Evaluasi dari manajer 5%
Data objektif 2%
Menurut model Kirkpatrick, secara ideal seharusnya ada empat tingkatan evaluasi untuk program pelatihan; yaitu (Tovey, 1997):
• Tingkat reaksi: Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ini merupakan cara yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pelatihan di alam bebas dan kebanyakan peserta akan memberikan rating yang sangat baik untuk jenis pelatihan seperti ini (Galagan, 1987; Petrini, 1990).
• Tingkat Pembelajaran: Penilaian biasanya dilakukan selama atau di akhir program pelatihan untuk memastikan bahwa peserta telah benar-benar mempelajari KSA yang baru. Namun, hal ini jarang sekali dilakukan pada pelatihan di alam bebas. Sesi debriefing merupakan satu-satunya sarana untuk memperoleh bukti bahwa para peserta telah memperoleh insight sesuai dengan desain dari kegiatan di alam bebas tersebut (Long, 1987).
• Perubahan perilaku atau ketrampilan: Tingkat ini berusaha mengukur perubahan yang terjadi setelah peserta kembali di tempat kerja. Roland (dalam Wagner, Baldwin, & Roland, 1991) menyebutkan adanya sebuah penelitian yang mengevaluasi transfer dari pelatihan di alam bebas ke tempat kerja untuk para manajer tingkat menengah. Para peserta pelatihan melaporkan bahwa setelah pelatihan, mereka berinteraksi secara lebih efektif baik dengan atasan maupun bawahan dan juga mereka dapat mengelola waktu dengan lebih baik. Para atasan dan bawahan mereka juga memberikan kesimpulan yang sama. Selain penelitian ini, beberapa ahli lain juga mendukung bahwa pelatihan di alam bebas memang benar-benar dapat menghasilkan perubahan di tempat kerja (Long, 1987).
• Tingkat organisasi atau prestasi kerja: Belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pelatihan jenis ini pada organisasi secara keseluruhan. Banyaknya organisasi yang memilih menggunakan pelatihan jenis ini bisa menjadi indikasi bahwa organisasi-organisasi memiliki persepsi bahwa pelatihan di alam bebas bermanfaat bagi mereka (Wagner, Baldwin, & Roland, 1991).
Walaupun jumlahnya terbatas, bukti-bukti sejauh ini tampaknya mendukung bahwa pelatihan di alam bebas merupakan tipe pelatihan yang cukup efektif. Namun hingga evaluasi yang lebih sistematis telah dilakukan, akan sangat sulit bagi kita untuk memutuskan ketrampilan kerja seperti apa yang paling efektif dikembangkan melalui pelatihan metode ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buller, P.F., Cragun, J.R., & McEvoy, G.M. (1991). Getting the most out of outdoor training. Training and Development Journal. 45, 3, 58-66.
Galagan, P. (1987). Between two trapezes. Training and Development Journal. 41, 3, 40-48.
Goldstein, I.L. (1994) Training in work organisations. In M. Dunnette & L.M. Hough (Eds), Handbook of Industrial and Organisational Psychology (2nd ed, vol 2). (pp. 507-619). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.
Kehoe, E.J. & Bright, J.E.H. (2003) Personnel training and development. In M. O’Driscoll, P. Taylor, & T. Kalliath (Eds), Organisational Psychology in Australia and New Zealand (pp. 56-77). Melbourne: Oxford University Press.
Long, J.W. (1987). The wilderness lab comes of age. Training and Development Journal. 41, 3, 30-39.
Paas, F., Renkl, A., & Sweller, J. (2003). Cognitive load theory and instructional design: Recent developments. Educational Psychologist, 38, 1, 1-4.
Petrini, C.M. (1990). Over the river and through the woods. Training and Development Journal. 44, 5, 25-34.
Sweller, J., van Merrienboer, J.J.G., & Paas, F.G.W.C. (1998). Cognitive architecture and instructional design. Educational Psychology Review. 10, 3, 251-296.
Tovey, M.D. (1997). Training in Australia: Design, delivery, evaluation, management. Sydney: Prentice Hall.
van Merrienboer, J.J.G., Kirschner, P.A., & Kester, L. (2003). Taking the load off a learner’s mind: instructional design for complex learning. Educational Psychologist. 38, 1, 5-13.
Wagner, R.J., Baldwin, T.T., & Roland, C.C. (1991). Outdoor training: Revolution or fad? Training and Development Journal. 45, 3, 51-56.


0 komentar:

Kata Mutiara

http://tanpatinta.blogspot.com/ Kata Bijak hari Ini: Selanjutnya

Panduan Jiwa

Coretan


Free chat widget @ ShoutMix